1. Pengertian
Etos Kerja
Etos berasal
dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh
individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat . Dalam kamus besar
bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan
keyakinan seseorang atau sesesuatu kelompok.
Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:
a. Suatu
aturan umum atau cara hidup
b. Suatu
tatanan aturan perilaku.
c.
Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku .
Menurut K. Bertens (1994), secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tempat hidup”. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah ethikos yang berarti “teori kehidupan”, yang kemudian menjadi “etika”. Dalam bahasa Inggris, etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain starting point, to appear, disposition hingga disimpulkan sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai “sifat dasar”, “pemunculan” atau “disposisi (watak)”.
Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai guiding beliefs of a person, group or institution. Etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi.
Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of English Language, etos diartikan dalam dua pemaknaan, yaitu: The disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that distinguishes it from other peoples or group, fundamental values or spirit, mores. Disposisi, karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok lain, nilai atau jiwa yang mendasari, adat-istiadat.
Prinsip utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama.
Anoraga (2009), etos kerja merupakan suatu
pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila
individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur
bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya
sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi
kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.
Sinamo (2005), etos kerja adalah seperangkat
perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen
total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu
organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen
pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku
kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi budaya kerja.
Etos dalam
terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin adalah membiasakan kehendak. Kesimpulannya,
etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang melahirkan perbuatan-perbuatan
dengan mudah dalam pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan diluar
dirinya .
Menurut K.H.
Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya
mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang
mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high
Performance) .
Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seseorang pedagang akan lahir semangat untuk menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh, adanya keyakinan bahwa dengan berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat tentunya maksimal pula. Dengan etos kerja tersebut jaminan keberlangsungan usaha berdagang akan terus berjalan mengikuti waktu.
Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seseorang pedagang akan lahir semangat untuk menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh, adanya keyakinan bahwa dengan berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat tentunya maksimal pula. Dengan etos kerja tersebut jaminan keberlangsungan usaha berdagang akan terus berjalan mengikuti waktu.
Berdasarkan
kamus Webster (2007), “etos” diartikan sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai
panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok, atau institusi. Jadi, etos
kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh
seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang mewujud nyata
secara khas dalam perilaku kerja mereka (Sinamo, 2002).
Harsono dan
Santoso (2006) yang menyatakan etos kerja sebagai semangat kerja yang didasari
oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukriyanto
(2000) yang menyatakan bahwa etos kerja adalah suatu semangat kerja yang
dimiliki oleh masyarakat untuk mampu bekerja lebih baik guna memperoleh nilai
hidup mereka. Etos kerja menentukan penilaian manusia yang diwujudkan dalam
suatu pekerjaan.
Selanjutnya,
Hill (1999) menyatakan etos kerja adalah suatu norma budaya yang mendukung
seseorang untuk melakukan dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya
berdasarkan keyakinan bahwa pekerjaan tersebut memiliki nilai instrinsik.
Berdasarkan pendapat tokoh diatas, dapat dilihat bahwa etos kerja erat
kaitannya dengan nilai-nilai yang dihayati secara intrinsik oleh seseorang.
Hal ini
diperkuat oleh Hitt (dalam Boatwright & Slate, 2000) yang menyamakan etos
kerja sebagai suatu nilai dan menyatakan bahwa gambaran etos kerja seseorang
merupakan gambaran dari nilai-nilai yang dimilikinya yang berfungsi sebagai
panduan dalam tingkah lakunya.
Cherrington (dalam Boatwright & Slate, 2000) menyimpulkan etos kerja dengan lebih sederhana yaitu etos kerja mengarah kepada sikap positif terhadap pekerjaan. Ini berarti bahwa seseorang yang menikmati pekerjaannya memiliki etos kerja yang lebih besar dari pada seseorang yang tidak menikmati pekerjaannya.
Subekti
(dalam Kusnan, 2004) menambahkan, suatu individu atau kelompok masyarakat dapat
dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda
sebagai berikut:
a. Mempunyai
penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia.
b.
Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi
eksistensi manusia.
c. Kerja
yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.
d. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita.
d. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita.
e. Kerja
dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Selanjutnya
Petty (1993) menyatakan etos kerja sebagai karakteristik yang harus dimiliki
pekerja untuk dapat menghasilkan pekerjaan yang maksimal yang terdiri dari
keahlian interpersonal, inisiatif, dan dapat diandalkan.
Menurut Usman
Pelly (1992), etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran
sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja. Dapat
dilihat dari pernyataan di muka bahwa etos kerja mempunyai dasar dari nilai
budaya, yang mana dari nilai budaya itulah yang membentuk etos kerja
masing-masing pribadi.
Dari
keterangan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos berarti watak atau
karakter seorang individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau
kemauan yang disertai dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu
keinginan atau cita-cita. Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang
mendasar maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan
hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden.
2. Fungsi
dan Tujuan Etos Kerja
Secara umum,
etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan
individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja adalah:
a. Pendorong
timbulnya perbuatan.
b.
Penggairah dalam aktivitas.
c.
Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya motivasi akan menentukan
cepat lambatnya suatu perbuatan.
Kerja
merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut kamus W.J.S Purwadaminta,
kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan . Kerja memiliki arti
luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha yang
dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat
intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam arti
sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi. Jadi
pengertian etos adalah karakter seseorang atau kelompok manusia yang berupa
kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi untuk
mewujudkan cita-cita.
Nilai kerja
dalam Islam dapat diketahui dari tujuan hidup manusia yang kebahagiaan hidup di
dunia untuk akhirat, kebahagian hidup di akhirat adalah kebahagiaan sejati,
kekal untuk lebih dari kehidupan dunia, sementara kehidupan di dunia dinyatakan
sebagai permainan, perhiasan lading yang dapat membuat lalai terhadap kehidupan
di akhirat. Manusia sebelum mencapai akhirat harus melewati dunia sebagai
tempat hidup manusia untuk sebagai tempat untuk mancari kebahagiaan di akhirat.
Ahli-ahli Tasawuf mengatakan:
Untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, manusia harus mempunyai bekal di dunia dan di manapun manusia menginginkan kebahagiaan. Manusia berbeda-beda dalam mengukur kebahagiaan, ada yang mengukur banyaknya harta, kedudukan, jabatan, wanita, pengetahuan dan lain-lain. Yang kenyataannya keadaan-keadaan lahiriah tersebut tidak pernah memuaskan jiwa manusia, bahkan justru dapat menyengsarakannya. Jadi dianjurkan di dunia tapi tidak melupakan kehidupan akhirat. FIRMAN Allah mengingatkan kepada kita,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S. Al-Qashash: 77)
Pandangan
Islam mengenai etos kerja, di mulai dari usaha mengangkap sedalam-dalamnya
sabda nabi yang mengatakan bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung pada
niat-niat yang dipunyai pelakunya, jika tujuannya tinggi (mencari keridhaan
Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya
rendah (seperti misalnya hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia
belaka) maka setingkat pula nilai kerjanya .
3.
Ciri-Ciri Etos Kerja
Ciri-ciri
orang yang memiliki semangat kerja, atau etos yang tinggi, dapat dilihat dari
sikap dan tingkah lakunya, diantaranya:
1.
Orientasi ke Masa depan
Artinya
semua kegiatan harus di rencanakan dan di perhitungkan untuk menciptakan masa
depan yang maju, lebih sejahtera, dan lebih bahagia daripada keadaan sekarang,
lebih-lebih keadaan di masa lalu. Untuk itu hendaklah manusia selalu menghitung
dirinya untuk mempersiapkan hari esok.
2.
Kerja keras dan teliti serta menghargai waktu
Kerja
santai, tanpa rencana, malas, pemborosan tenaga, dan waktu adalah bertentangan
dengan nilai Islam, Islam mengajarkan agar setiap detik dari waktu harus di isi
dengan 3 (tiga) hal yaitu, untuk meningkatkan keimanan, beramal sholeh
(membangun) dan membina komunikasi sosial, firman Allah: “Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (Q.S. Al-Ashr: 1-3)
3.
Bertanggung jawab
Semua
masalah diperbuat dan dipikirkan, harus dihadapi dengan tanggung jawab, baik
kebahagiaan maupun kegagalan, tidak berwatak mencari perlindungan ke atas, dan
melemparkan kesalahan di bawah. Allah berfirman:
“Jika kamu
berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu
berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat
hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk
menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana
musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan
sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”.(Q.S. Al-Isra’: 7)
4.
Hemat dan sederhana
Seseorang
yang memiliki etos kerja yang tinggi, laksana seorang pelari marathon lintas
alam yang harus berlari jauh maka akan tampak dari cara hidupnya yang sangat
efesien dalam mengelola setiap hasil yang diperolehnya. Dia menjauhkan sikap
boros, karena boros adalah sikapnya setan.
5.
Adanya
iklim kompetisi atau bersaing secara jujur dan sehat. Setiap orang atau kelompok pasti ingin maju dan berkembang
namun kemajuan itu harus di capai secara wajar tanpa merugikan orang lain.
Seperti Firman Allah : Dan bagi tiap-tiap umat ada
kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu
(dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah: 148)
Sebagai
orang yang ingin menjadi winner dalam
setiap pertandingan exercise atau latihan untuk menjaga seluruh kondisinya,
menghitung asset atau kemampuan diri karena dia lebih baik mengetahui dan
mengakui kelemahan sebagai persiapan untuk bangkit. Dari pada ia bertarung
tanpa mengetahui potensi diri. Karena hal itu sama dengan orang yang bertindak
nekat. Terukir sebuah motto dalam dirinya: “The best fortune that can come to a
man, is that he corrects his defects and makes up his failings” (Keberuntungan
yang baik akan datang kepada seseorang ketika dia dapat mengoreksi
kekurangannya dan bangkit dari kegagalannya .
4. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Etos Kerja.
Terdapat
beberapa faktor internal yang mempengaruhi etos kerja, yaitu:
a.
Usia
Menurut
hasil penelitian Buchholz’s dan Gooding’s, pekerja yang berusia di bawah 30
tahun memiliki etos kerja lebih tinggi daripada pekerja yang berusia diatas 30
tahun (dalam Boatwright & Slate, 2000).
b.
Jenis kelamin
Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Boatwright dan Slate (2000), wanita memiliki etos kerja
yang lebih tinggi dari pada pria.
c.
Latar belakang pendidikan
Hasil
penelitian Boatwright dan Slate (2000) menyatakan bahwa etos kerja tertinggi
dimiliki oleh pekerja dengan latar belakang pendidikan S1 dan terendah dimiliki
oleh pekerja dengan latar belakang pendidikan SMU.
Etos kerja
tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber
daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya
kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan
bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan
keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas
masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Bertens, 1994).
d.
Lama bekerja
Menurut
penelitian Boatwright dan Slate (2000) mengungkapkan bahwa
pekerja yang sudah bekerja selama 1-2 tahun memiliki etos kerja yang lebih tinggi daripada yang bekerja dibawah 1 tahun. Semakin lama individu bekerja, semakin tinggilah kemungkinan individu untuk memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitasnya dan memperoleh peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan jaminan. Kedua hal diatas akan membentuk persepsi seseorang terhadap kualitas kehidupan bekerjanya (Walton, dalam Kossen 1986).
pekerja yang sudah bekerja selama 1-2 tahun memiliki etos kerja yang lebih tinggi daripada yang bekerja dibawah 1 tahun. Semakin lama individu bekerja, semakin tinggilah kemungkinan individu untuk memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitasnya dan memperoleh peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan jaminan. Kedua hal diatas akan membentuk persepsi seseorang terhadap kualitas kehidupan bekerjanya (Walton, dalam Kossen 1986).
e.
Motivasi intrinsik individu
Anoraga (2009) mengatakan bahwa individu
memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos
kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh
nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi
kerja, yang mempengaruhi juga etos kerja seseorang.
Menurut
Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya bukan bersumber dari
luar diri, tetapi yang tertanam (terinternalisasi) dalam diri sendiri, yang
sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi faktor pendorong manusia
untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor hygiene dan faktor
motivator. Faktor hygiene merupakan faktor dalam kerja yang hanya akan
berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan ketidakpuasan.
Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya motivasi, tetapi ia tidak
menyebabkan munculnya motivasi. Faktor ini disebut juga faktor ekstrinsik, yang
termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja,
kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika
sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi, tentunya organisasi
tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor hygiene tidak menjadi
penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi ekstrinsik.
Faktor yang
kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan
berarti ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia.
Faktor ini disebut juga faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi
pencapaian sukses (achievement), pengakuan (recognition), kemungkinan untuk
meningkat dalam karier (advancement), tanggungjawab (responsibility),
kemungkinan berkembang (growth possibilities), dan pekerjaan itu sendiri (the
work itself). Hal-hal ini sangat diperlukan dalam meningkatkan performa kerja
dan menggerakkan pegawai hingga mencapai performa yang tertinggi.
5.Etos Kerja Masyarakat Melayu
Masyarakat melayu dulunya memiliki etos kerja yang di
sebut “ semangat kerja” yang tinggi, semangat yang mampu harkat dan
martabat kaumnya” untuk duduk sama rendah tegak sama tinggi” dengan masyarakat
dan dengan bangsa lain. Sedangkan, etos kerja masyarakat melayu yang
lazim di sebut dengan “ pedoman kerja melayu “, di akui oleh banyak ahli,
karena hal ini sangat ideal dengan etos kerja yang universal, terutama di dunia
Islam. Dengan modal “ pedoman kerja melayu” tersebut masyarakat melayu mampu
membangun negri dan kampung halaman, mereka juga mampu mensejahterakan
kehidupan masyarakat dan menghadapi persaingan.
Dalam etos kerja melayu, prinsip keadilan dan kebersamaan
merupakan hal yang penting. Prinsip dan kebersamaan dan tolong menolong juga
merupakan dasar dalam etos kerja melayu. Di dalam buku ini, penulis sedikit
membahas mengenai Etos Kerja Orang Melayu. Dengan begitu, kita akan mengetahui
sedikit banyak mengenai etos kerja orang melayu.
Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang
Dalam kehidupan orang melayu, etos kerja mereka telah di wariskan
oleh orang tuanya secara turun menurun. Masyarakat melayu dulunya
memiliki etos kerja yang di sebut “ semangat kerja” yang tinggi, semangat
yang mampu mengangkat harkat dan martabat kaumnya” untuk duduk sama rendah
tegak sama tinggi” dengan masyarakat dan dengan bangsa lain.
Sedangkan etika kerja masyarakat melayu yang lazim di sebut
dengan “ pedoman kerja melayu “, di akui oleh banyak ahli. Karena hal ini
sangat ideal dengan etos kerja yang universal, terutama di dunia islam.Dengan
modal “ pedoman kerja melayu” tersebut masyarakat melayu mampu membangun negri
dan kampung halaman.Mereka juga mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat dan
menghadapi persaingan.
Orang- orang tua melayu dulu mengatakan “ berat tulang ringan lah
perut “ maksutnya orang yang malas kerja hidupnya akan melarat. “
sebaliknya, “ ringan tulang berat lah perut “ maksudnya adalah barang siapa
yang bekerja keras, hidupnya pasti akan tenang dan berkecukupan. Di dalam
untaian ungkapan masyarakat melayu di katakan :
Kalau hendak menjadi orang
Rajin rajin membanting tulang
Manfaatkan umur sebelum petang
Pahit dan getir usah di pantang
Kalau hendak menjadi manusia
Ringankan tulang habiskan daya
Kerja yang berat usah di kira
Pahit dan manis supaya di rasa
Kalau tak ingin mendapat malu
Ingatlah pesan ayah dan ibu
Bekerja jangan tunggu menunggu
Manfaatkan hidup sebelum layu
Ungkapan di atas, dahulunya di sebarluaskan di tengah-tengah
masyarakat di jabarkan, di uraikan, dan di hayati secara keseluruhan oleh
anggota masyarakat. Penyebarluasan ungkapan tersebut melalui beberapa cara
seperti dalam cerita, nasihat, upacara adat, nyanyian rakyat, dll.
Hal ini di lakukan agar dapat menumbuhkan semangat kerja yang
tinggi, sehingga setiap anggota masyarakat mampu mencari dan memanfaatkan
peluang yang ada bahkan mampu pula menciptakan usaha-usaha baru yang sesuai
dengan kemampuan dan keahlian mereka masing masing.
Dalam adat melayu, banyak menyerap nilai nilai agama Islam ,
terdapat suatu ungkapan yang mengatakan “ adat bersendikan syara, syarak
besendikan kitabullah”. Menurut ungkapan ini orang yang tidak bekerja,
apalagi sengaja tidak mau bekerja, dianggap melalaikan kewajiban, melupakan
tanggung jawab, menafikkan ajaran agama dan tuntunan adat istiadat serta mengabaikan
tunjuk ajar yang banyak memberikan petuah tentang etos kerja. Sikap malas dan
sikap lalai dianggap sikap tercela oleh masyarakat melayu, yang di sebut “ tak
ingat hidup akan mati, tak ingat hutang yang di sandang, tak ingat beban yang
dipikul “. Oleh karena itu dalam masyarakat melayu, orang yang pemalas di
rendahkan oleh masyarakatnya. Itulah sebabnya orang orang tua dahulu mengatakan
:
Kalau malu di rendahkan orang
Bantinglah tulang pagi dan petang
Bekerja jangan alang kepalang
Gunakan akal mencari peluang
Di dalam bekerja jangan berlengah
Manfaatkan peluang mana yang ada
Kuatkan hati lapangkan dada
Kalau tak mau hidup melarat
Carilah kerja cepat cepat
Jangan di kira ringan dan berat
Asal sesuai dengan syariat
Di samping itu, budaya melayu juga mengajarkan etika kerja. Adapun
konsep etika kerja dalam budaya melayu dapat di lihat dari pribahasa berikut
ini :
1. Biar lambat asal selamat
Orang-orang tua melayu, menekankan pada anak anaknya supaya
berhati hati dalam bekerja dan mengambil keputusan.
2. Tidak lari gunung di kejar
Orang melayu di sarankan tidak tergopoh gopoh dan selalu bersabar
dalam bekerja, sebab dengan tergopoh gopoh hasilnya tidak baik.
3. Awal di buat, akhir di ingat
Pekerjaan yang di kerjakan secara tergesa gesa selalu menimbulkan
kesulitan dan tidak lengkap, tidak terurus. Oleh sebab itu, masyarakat melayu
jika hendak membuat suatu aktivitas selalu di fikirkan semasak masaknyasehingga
hasilnya maksimal
4. Alang-alang berdawat, biarlah hitam. Jangan asal asalan
dalam bekerja
5. Kerja beragak-agak tidak menjadi, kerja berangsur angsur
tidak bertahan
6. Sifat padi, semakin berisi semakin merunduk
7. Baru berlatih hendak berjalan, langsung bersembam
8. Selera bagai taji, tulang bagai kanji, menanti nasi
tersaji di mulut
9. Bekerja jangan lah berulah dan degil
10. Hemat dan cermat merupakan amalan terpuji bagi
orang melayu
6. Pengertian Budaya Kerja
Budaya kerja merupakan sistem nilai, persepsi, perilaku dan keyakinan yang dianut oleh tiap individu karyawan dan kelompok karyawan tentang makna kerja dan refleksinya dalam kegiatan mencapai tujuan organsiasi dan individual.
Brown Andrew
(1998) Budaya kerja penting dikembangkan karena dampak positifnya terhadap
pencapaian perubahan berkelanjutan ditempat kerja termasuk peningkatan
produktivitas (kinerja).
Budaya kerja
diturunkan dari budaya organisasi. Budaya Organisasi itu sendiri
merupakan sistem nilai yang mengandung cita-cita organisasi sebagai
sistem internal dan sistem eksternal sosial. Hal itu tercermin dari isi visi,
misi, dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, seharusnya setiap organisasi
memiliki identitas budaya tertentu dalam organisasinya. Dalam perusahaan
dikenal sebagai budaya korporat dimana didalamnya terdapat budaya kerja
(Sjafrie Mangkuprawira, 2007).
Budaya Kerja
adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang
menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu
kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat,
pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Gering Supriyadi,MM dan
Tri Guno, LLM)
Refleksi
budaya dan kerja dalam organisasi dikenal sebagai budaya kerja, (Ismail 2004).
Arti dan makna budaya kerja dapat diuraikan sebagai berikut
Budaya kerja
aparatur negara dapat diartikan sebagai sikap dan perilaku individu dan
kelompok aparatur negara didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya
dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan
sehari-hari. Proses pembentukan sikap dan prilaku itu diarahkan kepada
terciptanya aparatur negara yang profesional, bermoral dan bertanggug jawab
yang memiliki persepsi yang tepat terhadap pekerjaan (bekerja adalah ibadah,
bekerja adalah “panggilan”) untuk melaksanakan tugas mulia, agar menjadi orang
pilihan yang unggul), sehingga persepsi kerja merupakan aktualisasi jati diri.
(Keputusan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara RI No.
25/KEP/M.PAN/4/2002).
Budaya kerja
merupakan pola tingkah laku dan nilai-nilai yang disepakati karyawan dalam bekerja.
Misalnya perilaku dalam menjalankan tugas, karier, promosi, reward dan
sebagainya (Pengembangan Budaya Kerja dalam Perspektif Islam, 2003).
Budaya kerja
berarti cara pandang atau cara seseorang memberikan makna terhadap “kerja”.
Budaya kerja aparatur negara secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “cara
pandang serta suasana hati yang menumbuhkan keyakinan yang kuat atas
nilai-nilai yang diyakini. Serta memiliki semangat yang sangat sungguh-sungguh
untuk mewujudkannya dalam bentuk kerja prestatif”.
Budaya kerja
adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai
yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan
suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap
menjadi perilaku, kepercayaan cita-cita, pendapat dan tindakan yaneg berwujud
sebagai “kerja” atau “bekerja”.
Dalam buku Budaya Kerja Aparatur Pemerintah, dikutip ungkapan Toto Asmara “sekilas tentang budaya kerja” dijelaskan bahwa pada hakikat kerja merupakan bentuk atau cara manusia untuk memanusiakan dirinya, bekerja merupakan bentuk aktual dari nilai-nilai keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi.
Dalam buku Budaya Kerja Aparatur Pemerintah, dikutip ungkapan Toto Asmara “sekilas tentang budaya kerja” dijelaskan bahwa pada hakikat kerja merupakan bentuk atau cara manusia untuk memanusiakan dirinya, bekerja merupakan bentuk aktual dari nilai-nilai keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi.
Budaya Kerja
adalah melakukan suatu pekerjaan dengan memanfaatkan waktu dan tenaga baik itu
fisik maupun mental untuk menyelesaikannya. Seperangkat pengetahuan sebagai
dasar untuk menggerakkan organ tubuh dalam melakukan suatu aktifitas.
Pengetahuan, tingkah laku dan materi atau hasil karya adalah bagian terpenting
dalam kebudayaan. Kebudayaan tersusun dari unsur-unsur kehidupan yang
diciptakan oleh manusia, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan, norma-norma dan
hukum. Kebudayaan sebagian timbul dari kebutuhan akan keamanan karena
kebudayaan merupakan prilaku yang dijadikan kebiasaan.
Budaya kerja
merupakan sistem nilai, persepsi, perilaku dan keyakinan yang dianut oleh tiap
individu karyawan dan kelompok karyawan tentang makna kerja dan refleksinya
dalam kegiatan mencapai tujuan organsiasi dan individual.
Budaya Kerja
adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang
menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu
kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat,
pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja (Wenyapriyanti, 2012)
Suatu
keberhasilan kerja, berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang
menjadi kebiasaannya. Nilai-nilai tersebut bermula dari adat kebiasaan, agama,
norma dan kaidah yang menjadi keyakinannya menjadi kebiasaan dalam perilaku kerja
atau organisasi. Nilai-nilai yang telah menjadi kebiasaan tersebut dinamakan
budaya. Oleh karena budaya dikaitkan dengan mutu atau kualitas kerja, maka
dinamakan budaya kerja.
Kata budaya
itu sendiri adalah sebagai suatu perkembangan dari bahasa sansekerta ‘budhayah’
yaitu bentuk jamak dari buddhi atau akal, dan kata majemuk budi-daya, yang
berarti daya dari budi, dengan kata lain ”budaya adalah daya dari budi yang
berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan merupakan pengembangan dari
budaya yaitu hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut”.
Budaya
kerja, merupakan sekumpulan pola perilaku yang melekat secara keseluruhan pada
diri setiap individu dalam sebuah organisasi. Membangun budaya berarti juga
meningkatkan dan mempertahankan sisi-sisi positif, serta berupaya membiasakan
(habituating process) pola perilaku tertentu agar tercipta suatu bentuk baru
yang lebih baik.
Adapun pengertian budaya kerja menurut Hadari Nawawi dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia menjelaskan bahwa: Budaya Kerja adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh pegawai dalam suatu organisasi, pelanggaraan terhadap kebiasaan ini memang tidak ada sangsi tegas, namun dari pelaku organisasi secara moral telah menyepakati bahwa kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang harus ditaati dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan.
Adapun pengertian budaya kerja menurut Hadari Nawawi dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia menjelaskan bahwa: Budaya Kerja adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh pegawai dalam suatu organisasi, pelanggaraan terhadap kebiasaan ini memang tidak ada sangsi tegas, namun dari pelaku organisasi secara moral telah menyepakati bahwa kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang harus ditaati dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan.
Dari uraian
di atas bahwa, budaya kerja merupakan perilaku yang dilakukan berulang-ulang
oleh setiap individu dalam suatu organisasi dan telah menjadi kebiasaan dalam
pelaksanaan pekerjaan.
Adapun Menurut Triguno dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia menerangkan bahwa: Budaya Kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja.
Adapun Menurut Triguno dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia menerangkan bahwa: Budaya Kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja.
Taliziduhu
Ndraha dalam buku Teori Budaya Kerja, mendefinisikan budaya kerja, yaitu;
”Budaya kerja merupakan sekelompok pikiran dasar atau program mental yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan kerjasama manusia yang
dimiliki oleh suatu golongan masyarakat”.
Sedangkan
Menurut Osborn dan Plastrik dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia
menerangkan bahwa: “Budaya kerja adalah seperangkat perilaku perasaan dan
kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama
oleh anggota organisasi”.
Dari
uraian-uraian di atas bahwa, budaya kerja merupakan falsafah sebagai
nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong yang dimiliki
bersama oleh setiap individu dalam lingkungan kerja suatu organisasi.
Jika dikaitkan dengan organisasi, maka budaya
kerja dalam organisasi menunjukkan bagaimana nilai-nilai organisasi dipelajari
yaitu ditanam dan dinyatakan dengan menggunakan sarana (vehicle) tertentu
berkali-kali, sehingga agar masyarakat dapat mengamati dan merasakannya.
7. Budaya Kerja Orang Melayu
Dalam
kehidupan orang Melayu, etika atau budaya kerja mereka telah diwariskan oleh
orang tuanya secara turun temurun. Masyarakat Melayu dulunya memiliki budaya
kerja yang disebut “semangat kerja” yang tinggi, semangat yang mampu mangangkat
hakikat dan martabat kaumnya “ untuk duduk sama rendah tegak sama tinggi”
dengan masyarakat dan bangsa lain. Sedangkan, budaya kerja masyarakat Melayu
yang lazim disebut dengan “pedoman kerja Melayu”, diakui oleh banyak ahli,
karena hal ini sangat ideal dengan budaya kerja yang universal, terutama
didunia islam. Dengan modal “pedoman kerja Melayu”, tersebut masyarakat Melayu
mampu membangun negri dan kampung halaman, mereka juga mampu mensejahterakan
kehidupan masyarakat dan menghadapi persaingan.
Orang-orang
tua Melayu dulu mengatakan “berat tulang ringanlah perut”, maksudnya, orang
yang malas bekerja hidupnya akan melarat. Sebaliknya, “ringan tulang beratlah
perut” yang bearti barang siapa yang bekerja keras, hidupnya pasti akan tenang
dan berkecukupan.
Didalam
untaian ungkapan masyarakat Melayu dikatakan:
Kalau hendak menjadi orang
Rajin-rajin membanting tulang
Manfaatkan umur sebelum petang
Pahit dan getir usah dipantang
Kalau hendak menjadi manusia
Ringankan tulang habiskan daya
Kerja yang barat usah dikira
Pahit dan manis supaya dirasa
Kalau tak mau mendapat malu
Ingatlah pesan ayah dan ibu
Bekerja jangan tunggu-menunggu
Manfaatkan hidup sebelum layu
Ungkapan
diatas, dahulunya disebarluaskan ketengah-tengah masyarakat dijabarkan,
diuraikan, dan dihayati secara keseluruhan oleh anggota masyarakat.
Penyebarluasan ungkapan tersebut melalui beberapa cara seperti didalam
cerita-cerita, nasihat, upacara adat, nyanyian rakyat, dll. Hal ini dilakukan
agar dapat menumbuhkan semangat kerja yang tinggi, sehingga setiap anggota
masyarakat mampu mencari dan memanfaatkan peluang yang ada, bahkan mampu pula
menciptakan usaha-usaha baru yang sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka
masing-masing.
Dalam adat
Melayu, banyak menyerap nilai-nilai agama Islam, terdapat suatu ungkapan yang
mengatakan “adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabbullah. Menurut
ungkapan ini orang yang tidak bekerja, apalagi yang sengaja tidak mau bekerja,
dianggap melalaikan kewajiban, melupakan tanggung jawab, menafikan ajaran agama
dan tuntunan adat-istiadat serta mengabaikan tunjuk ajar yang banyak member
petuah amanah tentang budaya kerja. Sikap malas dan lalai, dianggap sikap
tercela oleh masyarakat Melayu yang disebut “tak ingat hidup akan mati, tak
ingat hutang yang disandang, tak ingat beban yang dipikul”. Oleh karena itu
dalam masyarakat Melayu orang pemalas direndahkan oleh masyarakatnya. Itulah
sebabnya orang tua-tua dulu mengatakan:
Kalau malu direndahkan orang
Bantinglah tulang pagi dan petang
Bekerja jangan alang kepalang
Gunakan akal mencari peluang
Kalau malu hidup terhina
Dalam bekerja jangan berlengah
Manfaatkan peluang mana yang ada
Kuatkan hati lapangkan dada
Kalau tak mau hidup melarat
Carilah kerja cepat-cepat
Jangan dikira ringan dan berat
Asal sesuai dengan syariat
Bantinglah tulang pagi dan petang
Bekerja jangan alang kepalang
Gunakan akal mencari peluang
Kalau malu hidup terhina
Dalam bekerja jangan berlengah
Manfaatkan peluang mana yang ada
Kuatkan hati lapangkan dada
Kalau tak mau hidup melarat
Carilah kerja cepat-cepat
Jangan dikira ringan dan berat
Asal sesuai dengan syariat
Orang
tua-tua dulu juga mengingatkan, bahwa dalam mencari peluang kerja, jangan
memilih-milih. Maksudnya jangan mencari kerja yang senang, dan tidak mau
berkerja keras, itu bukanlah sikap orang Melayu yang ingin maju. Kerja yang
perlu dipilih adalah kerja jangan “menyalah”, maksudnya jangan menyimpang dari
ajaran agama dan adat-istiadat. Sesuai dengan pepatah petitih masyarakat Melayu
yang mengatakan “kalau kerja sudah menyalah, dunia akkhirat aib terdedah.
Keutamaan
kerja masyarakat Melayu, tercermin pula dalam memilih menantu atau jodoh. Orang
yang belum bekerja, lazimnya dianggap belum mampu “menghidupkan anak bininya”.
Orang seperti ini tidak akan dipilih untuk menjadi menantu atau pun jodoh
anaknya. Beberapa pernyataan diatas memberikan petunjuk bahwa orang Melayu telah
menanamkan budaya kerja dalam kehidupan masyarakatnya.
Orang Melayu yang mendasarkan budayanya dengan teras Islam selalu memandang bahwa bekerja merupakan ibadah, kewajiban dan tanggung jawab. Bekerja sebagai ibadah merupakan hasil pemahaman orang Melayu terhadap Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SWA. Di dalam Al-Qur’an mengatakan, “apabila kamu telah selesai melaksanakan shalat, bertebaranlah kamu dimuka bumi (untuk mencari rezeki dan rahmat Allah). Pada ayat lain juga dikatakan “maka apabila telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (QS Alam Nasyrah :7).
Beberapa
hadits nabi yang mendukung budaya kerja Melayu diantaranya, “bekerjalah kamu
untuk duniamu, seakan-akan kamu hidup untuk selama-lamanya, dan bekerjalah
kamu, seakan-akan kamu mati besok pagi” (H.R. Muslim). Hadits lain juga
mengatakan “sesungguhnya Allah sukakepada hamba yang bekerja dan terampil,
barang siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia
serupa dengan seorang mujahid dijalan allah azza wajalla”(H.R. Ahmad). Selaras
dengan itu, terdapat ungkapan Melayu, yang dianggap sebagai ungkapan tunjuk
ajar tentang budaya kerja, didalam ungkapan tersebut dikatakan:
Apa tanda orang yang beradat
Wajib bekerja ianya ingat
Kalau mengaku orang Melayu
Wajib bekerja ianya tahu
Ungkapan-ungkapan
diatas mencerminkan bagaimana utamanya budaya kerja dalam pandangan orang
Melayu. Orang Melayu harus mau bekerja keras karena dianggap sebagai tanggung
jawab, baik bagi diri sendiri, keluarganya, masyarakat, agama,
adatistiadat serta norma-norma social yang mereka jadikan pegangan dan
sandaran. Sebaliknya apabila orang itu malas, culas dan memilih-milih kerja,
disebut bebal, dan tak tahu diri. Orang yang seperti ini akan menjadi ejekan
masyarakatnya, seperti yang tertuang dalam pantun berikut ini:
Tak ada guna berbaju tebal
Hari panas badan berpeluh
Tak ada guna Melayu bebal
Diri pemalas kerja bertangguh
Tak ada guna kayu diukir
Bila dipakai dimakan ulat
Tak ada guna Melayu pintar
Bekerja lalai makannya kuat
Apa guna merajut baju
Kalau ditetas butangnya lepas
Apa guna disebut Melayu
Kalau malas bekerja keras
Hari panas badan berpeluh
Tak ada guna Melayu bebal
Diri pemalas kerja bertangguh
Tak ada guna kayu diukir
Bila dipakai dimakan ulat
Tak ada guna Melayu pintar
Bekerja lalai makannya kuat
Apa guna merajut baju
Kalau ditetas butangnya lepas
Apa guna disebut Melayu
Kalau malas bekerja keras
Dari sisi
lain, orang Melayu memandang budaya kerja bukan semata-mata untuk kepentingan
hidup didunia, tetapi juga untuk keselamatan hidup diakhirat. Oleh karenannya,
kerja haruslah mampu membawa peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan duniawi,
selain itu juga dapat menjadi bekal hidup di akhirat. Untuk itu pekerjaan
haruslah yang halal, dilakukan secara ikhlas. Dalam ungkapan orang melayu
dikatakan:
Apabila kena menurut sunnah
Manfaatnya sampai ke dalam tanah
Manfaatnya sampai ke dalam tanah
Apa bila kena menurut syariat
Berkah melimpah dunia akhirat
Apabila kerja niatnya ikhlas
Dunia akhirat Allah membalas
Berkah melimpah dunia akhirat
Apabila kerja niatnya ikhlas
Dunia akhirat Allah membalas
Acuan ini,
menyebabkan orang tua-tua mengatakan bahwa, “bila bekerja karena Allah,
disitulah ia menjadi ibadah”. Ungkapan ini menunjukan pula, bahwa orang
Melayu memandang pekerjaan yang halal dan dilakukan dengan niat yang
tulus dan ikhlas dapat menjadi ibadah bagi seseorang. Pandangan ini tentu akan
mengokohkan keutamaan kerja dalam kehidupan orang Melayu.
Konsep budaya kerja sangat penting dalam masyarakat Melayu sekarang. Orang Melayu dianjurkan untuk melihat dan meniru budaya kerja bangsa lain yang telah maju seperti Eropa, Jepang, Korea dan Cina, tentu dengan catatan dengan nilai agama dan falsafah hidup masyarakat Melayu.
Para ahli
antropologi dan sosiologi yang telah melakukan kajian terhadap budaya kerja
orang Melayu, yang kemudian menarik suatu kesimpulan bahwa orang Melayu
“pemalas” dalam bekerja, baik kerja tani, buruh, pegawai, dan dunia
perdagangan. Itulah kesimpulan yang telah diambil oleh Cortesau, (1940),
Raflfles (1935), dan Wheeler (1928). Sedangkan G.D. Ness dalam buku nya yang
berjudul Bureaucracy and Rulal
Development in Malaysia (1967) yang mengatakan orang Melayu dibandingkan
dengan orang Cina kurang berorientasi pada hasil dan kesuksesan hidup.
Kajian Swift
(1965), melakukan pengamatan bahwa orang Melayu banyak yang memiliki tanah,
supaya dapat hidup selasa dan sejahtera, tanpa bekerja keras. Hasil kajian
Djamour (1959) hampir senada dengan Swift yang berkesimpulan bahwa orang Melayu
ingin hidup senang, kenyang, dan tenang tanpa harus bekerja keras. Apalagi bagi
orang Melayu dulu. Kebanyakan masyarakat Melayu dulu tidak mau bekerja di
perusahahaan timah, bauksit, dan kebun karet, malah banyak kaum pendatang yang
bekerja. Wilson (1967) mengatakan, meskipun orang melayu sadar bahwa mereka
tidak dapat mengalahkan Cina dalam Berbisnis, tapi mereka tidak tertarik untuk
mengikuti cara kerja Orang Cina tersebut. Beberapa budaya kerja Melayu dtempo
dulu, dapat dipahami dari ungkapan dan pribahasa berikut ini:
a. Biar Lambat Asal Selamat.
b. Tidak Lari Gunung di Kejar.
c. Alang-alang Berdawat Biarlah Hitam.
d. Kerja Beragak-agak Tidak Menjadi, Kerja Berangsur-angsur tidak Bertahan.
e. Sifat Padi Semakin Berisi Semakin Tunduk.
f. Baru Berlatih Hendak Berjalan, Langsung Tersemban.
g. Selera Bagai Taji Tulang Bagai Kanji, Menanti Nasi Tersaji di Mulut.
h. Kerja Janganlah Berulah dan Degil.
i. Hemat dan Cermat Dalam Bekerja.
Bagi
masyarakat Melayu Pekerjaan dapat mengangkat status social seseorang. Seseorang
yang memiliki pekerjaan akan di hormati oleh masyrakatnya, dan di jadikan
tauladan. Sebaliknya, apabila orang yang malas bekerja, atau bekerja asal jadi,
tentu akan dilecehkan. Apabila didalam masyarakat Melayu ada tukang yang
kerjannya asal jadi, disebut juga “tukang pak Sendul”.
Didalam ungkapan di katakan:
Kalau kerja tukang pak sendul
Yang gelegar menjadi bendul
Kalau tukang tidak senonoh
Belum di tunngu rumahpun roboh
Kalau tukang tidak semenggah
Paginya tegak petangya rebah
Yang gelegar menjadi bendul
Kalau tukang tidak senonoh
Belum di tunngu rumahpun roboh
Kalau tukang tidak semenggah
Paginya tegak petangya rebah
Orang yang
bekerja dengan keahliannya, bekerja dengan cermat dan pengetahuan yang memadai,
maka akan mendapatkan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Melayu. Apapun
bentuk keahlian dan bidang kerjanya mereka dijadikan tempat bertanya dan tempat
petuah amanah. Orang tua-tua dulu mengatakan:
Kalau kerja hendak semenggah
Carilah orang yang amanah
Carilah orang yang amanah
Ungkapan-ungkapan
diatas menunjukan, bahwa masyarakat Melayu menghormati ilmu pengetahuan dan
keahlian seseorang dalam bekerja. Namun, bila ada seseorang yang memiliki
keahlian dan ilmu pengetahuan tinggi, tetapi malas bekerja dan tidak mau
mengamalkan ilmunya, di anggap terbuang oleh masyarakatnya, bahkan cenderung
dilecehkan. Dalam Ungkapan Melayu di katakan:
Apa
tanda orang yang malang
Ilmu di dada terbuang-buang
Apa tanda orang merugi
Ilmu dituntut tak ada arti
Apa tanda orang yang cacat
Ilmu ada tidak bermanfaat
Ilmu di dada terbuang-buang
Apa tanda orang merugi
Ilmu dituntut tak ada arti
Apa tanda orang yang cacat
Ilmu ada tidak bermanfaat
Ungkapan
tersebut secara tegas menggambarkan bahwa pekerjaan menjadi salah satu tolak
ukur untuk mengangkat harkat dan martabat seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat.
Seperti yang telah kita bahas bersama-sama tadi, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa gambaran tentang Budaya kerja masyarakat Melayu, serbagian besar masih terdapat dalam masyarakat Melayu, baik yang tinggal dikota maupun dikampung-kampung. Nilai luhur budaya Melayu ini tentulah akan member manfaat apabila disimak, di cerna, dan dihayati dengan baik dan benar. Mudah-mudahan dengan apa yang telah di uraikan di atas, kita semua dapat mengenal dan mengetahui bahwa masyarakat Melayu memiliki budaya kerjanya sendiri.
Seperti yang telah kita bahas bersama-sama tadi, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa gambaran tentang Budaya kerja masyarakat Melayu, serbagian besar masih terdapat dalam masyarakat Melayu, baik yang tinggal dikota maupun dikampung-kampung. Nilai luhur budaya Melayu ini tentulah akan member manfaat apabila disimak, di cerna, dan dihayati dengan baik dan benar. Mudah-mudahan dengan apa yang telah di uraikan di atas, kita semua dapat mengenal dan mengetahui bahwa masyarakat Melayu memiliki budaya kerjanya sendiri.
Secara
teoritis dan filosofis, orang Melayu memiliki budaya kerja yang hampir
sempurna, walaupun banyak anggapan bahwa orang Melayu serba ketinggalan,
perajuk dan sebagainya. Apalagi dalam era globalisasi sekarang ini, berbagai
perubahan dan pergeseran nilai budaya terus berlangsung dalam kehidupan
masyarakat, terutama dalam masyarakat Melayu. Apabila kita sebagai pewaris
budaya tidak mau atau tidak memiliki keinginan untuk menggali dan menjaga nilai
budaya, maka tentulah kita tidak dapat membina dan mengembangkan budaya yang
kita miliki.
Wah kalo etos kerja orang malaysia ini gimana bro: 6000 orang dipecat gara-gara tidur dihanggar di jam kerja (klik untuk berita lengkap)
BalasHapusWah keren tu bos
Hapuskeren ...... tapi alangkah baik jikalau dilengkapi sumber bacaannya. karena petatah petitih melayu itu ada yang buat tak mungkin karya sastra anak mude.....
BalasHapus