Pages

Subscribe:

Labels

PENDIDIKAN BUDAYA MELAYU
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I  JATI DIRI MELAYU

1.   Pengertian
Setiap bangsa yang pernah wujud dalam dunia ini mempunyai asas-asas jati diri mereka sendiri sama ada jati diri tersebut diasaskan melalui pegangan agama yang dianuti, warisan lampau yang diwarisi sejak berzaman, nilai hidup yang murni, kekuatan dalaman dan pengalaman bangsa tersebut dalam mengharungi pelbagai cabaran yang ditempuhi dan sebagainya.

Apakah maksud jati diri? Jati diri adalah unsur-unsur kehidupan yang mencerminkan lahiriah individu  atau masyarakat. Dalam pengertian sahihnya, jati diri adalah identiti individu, masyarakat dan negara bangsa yang mempunyai sifat-sifat keutuhan yang dibanggakan.

Sebagian orang berpendapat bahwa arti jati diri adalah suatu manifestasi ideologi hidup seseorang. Jati diri sendiri merupakan bagian dari sifat seseorang yang muncul dengan sendirinya mulai dari kecil, kemudian sifat bawaan kadang juga terpengaruh dengan faktor lingkungan tempat seseorang hidup dan dibesarkan.

Mengikut Kamus Dewan (1994), jati diri bermaksud diri yang tulin dan diri yang murni. Justeru itu, jati diri boleh dimaksudkan sebagai “nilai-nilai diri yang tulin dan teras” yang wujud dalam diri individu atau masyarakat. Nilai tersebut tidak dapat dipisahkan dari kewujudan bangsa tersebut yang dipamirkan melalui watak, sikap, keperibadian mereka yang dimanifestasikan dalam perjalanan sejarahnya.

Jati diri yaitu Suatu kualitas yang menentukan suatu individu, sedemikian rupa sehingga diakui sebagai suatu pribadi yang membedakan dengan individu yang lain. Kualitas yang menggambarkan suatu jati diri bersifat unik, khas, yang mencerminkan pribadi individu dimaksud. Jati diri akan melakat pada pribadi dan menjadi prinsip  dalam diri individu yang akan selalu nampak dengan konsisten dalam sikap dan perilaku individu dalam menghadapi setiap permasalahan. Sebuah prinsip akan bersemayam dalam diri seseorang dan menjadi pola pikirnya. Perilakunya yang terlihat secara kasat mata adalah gambaran dari sebuah gagasan yang mengandung nilai kebenaran. Karena pada dasarnya sebuah prinsip memiliki nilai kebenaran. Adapun prinsip yang pada akhirnya membinasakan orang bersangkutan, maka itu bukanlah prinsip tapi kesimpulan pribadi yang menyesatkan.

Ada yang mendefenisikan jati diri sebagai “karakter dasar, Ada yang mengartikannya sebagai “Diri kita sesungguhnya”, dan Ada juga yang berdefinisi jati diri adalah “aku sejati”, dan mereka mengatakan bahwa jati diri itu akan kita dapatkan seiring semakin dewasanya kita. Itulah sedikit informasi dari pengertian atau definisi mengenai jati diri.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia jati diri mempunyai pengertian yaitu ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda, identitas, inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam, spiritualitas. Jadi jati diri adalah segala sesuatu yang dapat menunjukan identitas, ciri-ciri atau apapun yang dapat menggambarkan keadaan seseorang atau suatu benda.

Jati Diri Bangsa adalah, ciri khas atau karakteristik suatu bangsa yang membedakan dan menyadari bangsa yang lain. Jati diri Bangsa indonesia berarti karakteriskitik bangsa Indonesia yang membedakan bangsa indonesia dengan bangsa lainnya. Jati diri bangsa merupakan perwujudan dari nilai nilai budaya yang berkembang dan berasal dari himpunan beberapa suku yang ada di Indonesia.  

Setiap manusia mempunyai jati diri. Jati diri dapat mempersatukan sikap, semangat, dan juga jiwa korps untuk mencapai tujuan dan maklamat mereka. Oleh sebab itu, jati diri sebenarnya menjadi salah satu pengikat jiwa, penggerak semangat dan penguat suasana kebathinannya. Masyarakat harus memahami dan menghayati jati diri. 

Ketergesaan dalam kehidupan modern, yang bergerak serba cepat, seringkali membuat kita melupakan diri sendiri dan kehilangan kendali. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk membawa kita kembali ke diri sejati, Nah bagaiamana cara mencari jati diri ? Apakah yang harus saya lakukan untuk menemukan jati diri saya?.

Kita tentu sudah tidak asing mendengar istilah generasi muda yang sedang mencari jati diri, hal ini sering terungkap karena dalam proses pembentukan karakter yang sebenarnya pada diri seseorang adalah pada masa pancaroba, yaitu masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa.

Masyarakat yang punya idealisme tinggi, adalah masyarakat yang bertamadun (Madani), masyarakat yang rakyatnya, punya jati diri, prinsip hidup dan azas dalam melakukan segala tindakan, punya kerukunan dan sistem yang difahami; dan bukan yang mengikut dan bertindak secara membuta-tuli, dan mengikut perasaan emosi, atau lebih teruk, mengikut trend dan kebudayaan (kebiasaan) semasa. Masyarakat begini, ibarat masyarakat lalang, mudah saja ditiup ke sana dan ke mari mengikut arah kuatnya angin bertiup.

Generasi berilmu dan memiliki jati diri serta bertamadun, seharusnya membawa gelombang perubahan dan aura idealisme kepada masyarakat masyarakat manapun. Kehadirannya, membawa suatu prinsip kebenaran dan berazaskan kepada budaya yang positif, dan bersifat membentuk akal dan budaya masyarakat. Masyarakat yang tidak punya budaya berprinsip, akan memandang serong, dan benih prejudis, skeptikal, dan rasa tidak senang biasanya, akan menyerap dan seterusnya akan datang bersama-sama secara seiring. Gelombang dan aura mana yang lebih kuat, sudah tentu akan menguasai dan membawa suatu budaya baru, atau meninggalkan kesan lama dalam masyarakat tersebut.

2.   Siapakah Melayu

Siapakah Melayu? Soalan ini tidak mudah untuk dijawab kerana sesungguhnya Melayu mempunyai takrif dan makna yang luas. Dari segi sosio-budaya, Melayu bukan sahaja merujuk kepada bangsa yang asalnya mendiami Semenanjung Tanah Melayu, tetapi juga termasuk seluruh suku-bangsa yang menduduki kepulauan Melayu-Indonesia, Melayu di selatan Thailand, Singapura, Brunei, Filipina, Kemboja dan lain-lain lagi. Di Malaysia, Melayu kini lebih dikenali sebagai rumpun Melayu atau bumiputera.

Biasanya Melayu didefinisikan sebagai penduduk asal negara ini, berkulit sawo-matang, putih dan kuning-langsat, terdiri daripada suku-suku Melayu-Utara, Melayu-kelantan, Melayu-Terengganu, Melayu-Pahang, Melayu-Perak, Melayu-Selangor, Melayu-Melaka, Melayu Johor-Riau, Melayu-Borneo, Melayu-Brunei, Bugis, Jawa, Minangkabau, Aceh, Banjar, Mendailing, Rawa dan lain-lain lagi.

Menurut Syed Husin Ali, kedatangan penjajah Baratlah yang telah membahagi-bahagikan sempadan politik kepulauan Melayu sehingga Tanah Melayu terpisah dari Indonesia dan Finipina.

Menurut Perlembagaan Persekutuan, Melayu ditakrifkan sebagai “seseorang yang menganut agama Islam, lazimnya bertutur dalam bahasa Melayu dan mengamalkan adat-istiadat dan adat resam Melayu” dan (a) lahir, sebelum Hari Merdeka, di Persekutuan atau di Singapura, atau ibu bapanya telah lahir di Persekutuan atau di Singapura, atau pada Hari Merdeka itu, ia adalah berdomisil di Persekutuan atau di Singapura; atau (b) ia adalah keturunan seseorang yang tersebut itu (Perkara 160, Fasal 2).

Banyak orang memiliki pamahaman yang berbeda-beda tentang pengertian “Melayu”. Hal ini terjadi karena pengertian Melayu didasarkan atas hal yang berbeda pula. Ada sebagian orang yang memandang Melayu dari pengertian “ras”, ada pula pengertian Melayu berdasarkan kepercayaan atau religi, yaitu “sesama agama Islam”. Pengertian berbeda ini terjadi karena orang Melayu banyak mendiami wilayah yang berbeda-beda. Wilayah yang didiami orang Melayu meliputi: Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur, Singapura, Brunei, Kalimantan Barat, Tamiang (Aceh Timur), pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Jambi dan pesisir Palembang (Sinar, 2002).

Pada abad ke-18 orang Barat, khususnya orang Belanda dan orang Inggris menganggap semua penduduk nusantara dan semenanjung Malaysia disebut “Bangsa Melayu”. Hal ini terjadi karena mereka melihat persamaan warna kulit, postur tubuh yang relatif sama, dan menguasai atau memahami bahasa Melayu secara bersama.

Pada tahun 1400 M, pusat imperium Melayu berada di Malaka. Pada saat itu terbentuklah suatu wadah baru bagi orang Islam untuk dapat lebih berkembang. Perkembaangan Melayu dimulai dari Malaka hingga ke penjuru nusantara. Penyebaran Melayu dilakukan dengan cara perdagaan dan dengan cara perkawinan dengan putri raja setempat. Dengan demikian, selain membentuk masyarakat Islam di tempat tersebut juga sekaligus membentuk budaya Melayu.

Memang kedengaran suara-suara sumbang yang mencoba menolak definisi ini. Mereka mau mengugurkan frasa “yang menganut agama Islam” dengan alas an untuk meluarkan definisi Melayu. Namun, sekiranya frasa tersebut digugurkan, mungkin suatu hari nanti ciri asal Melayu itu akan luntur. Identitas Melayu akan menjadi kabur dan generasi baru Melayu kelak akan kehilangan jati diri dan mungkin akan tercabut terus dari akar budaya Melayu-Islam yang kita warisi. Oleh itu, takrif Melayu dalam Perlembagaan Persekutuan wajar dipertahankan.

Daripada takrif Melayu yang sah di sisi Perlembagaan itu nyatalah bahwa unsur utama yang mendasari jati diri Melayu itu adalah agama Islam. Yang uniknya, Melayu di Malaysia adalah salah satu daripada bangsa di dunia ini yang seluruh umatnya menganut agama Islam. Dengan kata lain, Melayu itu mestilah beragama Islam dan barangsiapa yang “murtad” (keluar agama), dia tidak lagi layak dianggap sebagai berbangsa Melayu dan tidak layak menerima Hak Istimewa Orang Melayu.
 Ahli-ahli sejarah memang sepakat tentang fakta bahwa orang Melayu sudah menetap di Semenanjung Tanah Melayu sejak kira-kira 5,000 tahun dahulu. Ini berdasarkan bukti-bukti sejarah daripada sumber arkeologi dan penempatan yang hampir sempurna antara tahun 3,000SM dan 2,000SM. Hubungan perdagangan Semenanjung Tanah Melayu yang dikenali sebagai The Golden Khersone dengan Negara-negara lain di Asia Tenggara telah terjalin antara tahun 1,000 SM dan 500 SM.
  
Perkembangan sejarah pula turut menyaksikan bahwa rumpun Melayu yang sudah bertapak di kepulauan Borneo, sebagai sebahagian dari gugusan kepulauan Melayu yang merangkumi Indonesia, Brunei dan Singapura atau dikenal juga sebagai Nusantara. Nusantara berasal daripada kata “nusa” dan “antara”, yang menggambarkan pertautan erat antara seluruh suku-bangsa yang menghuni kepulauan Melayu.

Perhubungan erat dalam bentuk ikatan kekeluargaan, persaudaraan dari  sebuah kawasan yang luas dari Pattani hingga ke Temasik, dari Sumatera ke Pulau Jawa dan kemudian merentas ke Borneo, Sulawesi dan Filipina ini merupakan rangkaian atau networking dunia Melayu yang membetuk suatu kesatuan budaya dan bahasa.

Daripada kesatuan budaya dan bahasa, hubungan ini terus dijalinkan dalam bentuk hubungan kerajaan, keagamaan, keilmuan, perdagangan dan kemasyarakatan yang akhirnya membetuk tamadun Melayu yang mempunyai jati diri yang unggul dan tersendiri.

Bahkan, tamadun Melayu ini kemudiannya tersebar begitu luas meliputi pantai Afrika, ke utara hingga meliputi Sri Lanka dan Kemboja, Taiwan dan Jepun dan ke timur hingga ke seluruh kepulauan Pasifik, termasuk ke Thursday Island di Queensland, Australia. Pusatnya berlegar di sekitar Semenanjung Tanah Melayu dan Pulau Jawa.

Oleh karena itu, wujud Melayu-Siam, Melayu-Singapura, Melayu-Filipina, Melayu-Brunei, Melayu-Indonesia, Melayu-Champa, Melayu Sri Lanka dan Melayu-Madagaskar.

3.   Siapakah Orang Melayu

Di zaman penjajahan Belanda, terungkap suatu anggapan dari pihak kolonial berkenaan orang Melayu, bahwasanya orang Melayu kononnya memiliki semangat kerja yang kurang, cepat merasa puas dan tiadalah berpikiran maju ke hadapan. Kemudian diperkatakan pula orang Melayu sebagai masyarakat yang tinggal berdekatan dengan laut dan laut sebagai sumber mata pencaharian, ada pula yang tinggal di pinggir-pinggir sungai dengan mata pencaharian berburu, menyadap getah dan pencaharian yang lain.

Sebutan-sebutan seperti itu, pada hakikatnya tidaklah semuanya benar. ungkapan ataupun pandangan yang demikian itu perlulah diluruskan, sehingga jati diri orang Melayu sebagai orang yang ramah, pandai bergaul, rajin, memiliki rasa seni yang tinggi, pandai menyesuaikan diri dengan siapapun serta memiliki pengertian, yang kesemuanya patutlah terus dikembangkan. Di samping itu, masyarakatnya yang menganut agama Islam dengan kuat, beradat Melayu dan berbahasa Melayu, serta dahulunya orang Melayu merupakan bangsa pelaut atau pejuang bahari, pedagang dan bangsa pemberani. Sampai  hari ini dipercayai bangsa Melayu masih memiliki dan mempertahankan jati dirinya.

Orang Melayu selalu memiliki pandangan jauh ke depan dan selalu ingin belajar untuk menuntut ilmu pengetahuan dengan tidak meninggalkan budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Sebenarnya dengan kemampuan itu, pada masanya akan selalu mampu untuk bersaing sekaliannya menjawab tantangan masa depan.

Terlepas dari masalah penjajahan, konon tersebutlah seorang cerdik pandai berkebangsaan Belanda bernama Vallentijn (1712 M) menyebutkan bahwa orang Melayu sangat cerdik, pintar dan manusia yang sangat sopan di seluruh Asia. Juga sangat baik, penuh sopan-santun, menyukai kebersihan dalam hidupnya dan umumnya begitu rupawan, sehingga tidak ada manusia lain yang bisa dibandingkan dengan mereka, di samping kelebihan lain sebagai masyarakat penggembira. Selain itu, orang Melayu juga mempunyai kebiasaan mempelajari bahasa mereka, tetapi tetap selalu berusaha memperluas pengetahuan dan juga mempelajari bahasa Arab.

Selain itu seorang cerdik pandai lainnya yang bernama C. Lekkerkerker (1916) menyebutkan bahwa jati diri Melayu adalah lebih dari segala suku-suku di nusantara. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Melayu merupakan orang-orang yang paling banyak berjasa dalam menyebarkan agama Islam di nusantara. Baik melalui bahasa, kapal, perdagangan mereka, perkawinan mereka dengan perempuan lain dan propaganda langsung. Orang Melayu juga suka mengembara. Suatu ras yang paling gelisah di dunia, selalu berpindah kemana-mana untuk mendirikan hunian.

Selain itu, adalah seorang cerdik-pandai juga berkebangsaan Belanda yaitu Prof. J.C. van Eerde (1919) menyebutkan bahwa orang Melayu sangat bertenaga dan penuh keinginan kuat untuk maju. Lalu, kalau ada yang mengatakan bahwa orang Melayu sekarang banyak yang tertinggal di berbagai bidang terutamanya di bidang ekonomi, tekhnologi. Bahkan ada kecendrungan sifat untuk maju semakin berkurangan. Maka patutlah kita mempelajarinya kembali. Padahal kalau kembali ke jati diri orang Melayu yang sebenarnya, seperti mengamalkan nilai-nilai kejujuran dalam berdagang, berani mengarungi lautan, dan jarang terlibat dalam soal kejahatan sebaliknya suka kepada tegaknya hukum yang dipadukan dengan bakat yang melekat pada dirinya seperti bidang kesenian, nelayan dan pelayaran tentulah tiada lagi akan terdengar kepada cerita yang diperkatakan orang itu. Sayangnya kitab yang disusun ini bukanlah pula memperkatakan hal yang sedemikian, sebaliknya hanya membatasi diri kepada yang berkenaan dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Melayu dengan adat dan budayanya. Meskipun di antara yang diperkatakan ini sebenarnya sangat berpengaruh kepada bidang-bidang yang lainnya.

Apa yang terjadi sekarang, di mana sebagian orang Melayu sudah terkelupas dari ‘jati diri’ kemelayuannya, bahkan sebagian besar sudah tercabut dari akar budayanya. Karenanya, walaupun secara lahiriyah ‘Orang Melayu’ masah ada, namun ‘jiwa, semangat, dan kepribadian Melayunya’ sudah nyaris terkikis dan tidak lagi dicerna, dihayati dan diamalkan sebagai jati diri kemelayuannya.

Tenas Efendi menyebutnya ini sebagai ‘malapetaka’ bagi orang Melayu, karena kehilangan ‘jati diri, semangat, kepribadian, dan prilaku kemelayuan’. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi hidup dan kehidupan orang Melayu masa kini dan masa yang akan datang, sebab Melayu tanpa mencerminkan nilai asasnya, tentulah tidak lagi memiliki tuah dan marwah, dan tidak pula memiliki harkat dan martabat di mata dunia. Bila demikian sia-sia sajalah amanah Hang Tuah perkasa, ‘tak Melayu hilang di bumi’ atau ‘takkan Melayu hilang di bumi’ itu. Bila hal ini terjadi jangan berharap Melayu mampu menjadi negeri yang bertamadun; terbilang, cemerlang dan gemilang. Dan jangan terlalu berharap Melayu bisa menjadi tuan di negerinya sendiri.
Bila kemungkinan-kemungkinan buruk di atas tidak ingin terjadi, maka sudah seharusnya diperlukan kesadaran semua pihak untuk turut serta bahu-membahu menyematkan kembali ‘semangat’ pada berbagai kalangan. Tentulah dengan nilai asas yang berlandaskan ajaran Islam.  Bila hal tersebut dilaksanakan penuh kesadaran dan upaya terus-menerus tentulah akan mampu melahirkan generasi Melayu yang tangguh, dan diharapkan mampu mewujudkan kehidupan bangsa dan negeri Melayu sejahtera lahir dan batin.

4.   Mengapa Melayu

Saat itu jati diri Melayu dipersatukan oleh faktor cultural (budaya) yang sama, yaitu kesamaan agama Islam, bahasa, dan adat- istiadat Melayu (Sinar, 2002)
Di bawah ini dituliskan beberapa pendapat ahli dari dalam dan luar negeri mengenai siapa sesungguhnya orang Melayu itu, yaitu:
- Syed Husin Ali mengatakan, “Orang melayu dari segi lahiriah biasanya
berkulit sawo matang, berbadab sederhana dan tegap, selaku berlemah
lembut serta berbudi bahasa.”
- Werndly, kata “melayu” berasal dari kata “melaju” dasar katanya laju
bermakna cepat, deras dan tangkas, dengan pengertian bahwa orang melayu bersifat tangkas dan cerdas, segala tindak tanduk mereka cepat dan deras.
- Van der Tuuk berpendapat bahwa perkataan melayu berarti penyeberang, pengertiannya bahwa orang melayu menyeberang atau menukar agamanya dari Hindu- Budha kepada Islam.

Beberapa pendapat ahli tentang siapa sesungguhnya orang Melayu itu juga terdapat dalam Sinar (2002), yaitu:
- Pendeta Simon mengatakan, “Banyak orang Batak naik haji ke Mekah menyatakan dirinya sebagai Melayu”.
- Windstedt mengatakan bahwa orang Melayu Islam tidak menyukai cara seluk pawang masa kini yang dianggap tahyul.
- Judiht A. Nagata, mengatakan bahwa orang melayu beragama Islam, berbahasa Melayu, dan menganut adat Melayu.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang orang Melayu dapat dipahami bahwa orang Melayu sejak mereka memeluk agama Islam di abad ke-5 M adalah sebagai berikut:
Seseorang disebut Melayu apabila orang tersebut beragama Islam, sehari-hari berbahasa Melayu dalam berkomunikasi, dan berbudaya atau beradat-istiadat Melayu. Adapun konsep adat Melayu itu adalah adat bersendikan hukum syarak, syarak bersendikan kitabullah. Jadi orang Melayu adalah suku atau etnis s
ecara kultural dan bukan harus secara persamaan darah keturunan. Sistem kekeluargaan orang Melayu menganut adalah Parental (kedudukan pihak ibu dan bapak sama).

5.   Bangsa Melayu

Menurut Ismail Noor dan Muhammad Azam (2000), sebenarnya bangsa Melayu sudahpun menjadi bangsa bertamadun semenjak 3,000 sebelum masihi lagi. Seorang putera Raja Byzantium dalam pelayarannya ke negeri Cina telah tersadai di pantai negeri Kedah. Beliau dan anak-anak kapalnya masuk mengembara ke daratan negeri Kedah, dimana mereka terjumpa dengan satu masyarakat setempat yang mana anggota-anggotanya berbadan tegap, kuat dan cergas. Masyarakat ini cukup tinggi tamadunnya dalam aktiviti pertanian, pertukangan dan pembuatan peralatan besi. Pengembara tersebut telah terjumpa sekumpulan “gergasi” yang kemungkinan adalah penduduk tempatan Melayu yang sudah lama menetap di situ .

Kenyataan di atas menjelaskan betapa bangsa Melayu sudah menjadi bangsa bertamadun dan mempunyai kekuatan fizikal yang hebat. Kewujudan bangsa bertamadun (maju dalam semua aspek) sebenarnya adalah berpunca dari pegangan, pandangan hidup dan nilai hidup yang dipegang yang dipegang oleh sesuatu bangsa tersebut sehingga aspek tersebut menjadi asas kepada kemajuan mereka. Justeru itu, bangsa Melayu sudahpun memiliki nilai-nilai hidup tersebut sebagaimana bangsa bertamadun yang lain (Dr Abdul Halim Bin Ramli)

Manakala asal usul perkataan Melayu pula menurut Dr.Nik Safiah Karim (Berita Harian, 29 April 2002) berkembang dari peringkat istilah Melayu yang dikaitkan dengan maksud kerajaan atau kawasan dan tidak manusia atau bangsa sehinggalah istilah Melayu dikaitkan dengan maksud bangsa Melayu itu sendiri.

Pada peringkat awal, Istilah Melayu hanya dirujuk kepada maksud kerajaan atau kawasan dapat dilihat dari beberapa catatan sejarah. Antaranya catatan I’Sing, seorang rahib Buddha dalam perjalanan beliau dari Canton ke India, beliau singgah di Bhoga. Kemudian beliau telah dihantar oleh Raja Bhoga ke negeri “Mo-lo-yu” yang pada masa tersebut disebut Sribhoga.

Dipercayai bahwa I’Sing telah mengubah nama “Mo-lo-yu” kepada Bhoga dan Sribhoga (mengikut pelat sebutannya dan sistem tulisan Cina), dan dipercayai juga bahawa Sribhoga ialah Palembang, ibu negeri Sriwijaya dan Bhoga itu tanah jajahan takluk Sriwijaya, termasuk “Mo-la-yu”.

Dari penjelasan ini, kelihatan bahwa istilah “Mo-la-yu” digunakan unntuk merujuk kawasan atau kerajaan. Konsep Melayu sebagai bahasa/bangsa belum timbul pada peringkat ini. Hanya istilah Melayu merujuk sebagai suatu bangsa hanya timbul setelah terwujudnya Kerajaan Melayu Melaka. Berdasarkan teks-teks yang ada hubungan dengan Melaka, istilah Melayu merujuk keturunan yang “berbangsa” dan “berasal”.

Dengan kata lain, Melayu membawa pengertian keturunan raja-raja Melayu dari Sumatera. Di sini konsep azas ialah manusia dari satu kawasan tertentu, walaupun konsep bahasa kelompok manusia ada tersirat. Lama kelamaan bermula pada abad ke 17 M, penggunaan istilah “Melayu” mula digunakan dalam konteks bangsa. Pada ketika itu, “Melayu” merangkumi bangsa serumpun di Nusantara. Ia juga disahkan oleh Unesco, Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1972, Unesco telah memberikan pengertian kepada konsep “Melayu” yang menjadi pegangan hingga ke hari ini. Istilah Melayu digunakan untuk merujuk suku bangsa Melayu di Semenanjung Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina dan Madagaska.

Dari sudut Istilah konteks Malaysia, bangsa Melayu dapat diistilahkan sebagai “smasyarakat yang mengamalkan agama Islam, yang keturunannya dapat didebut hingga kepada nenek moyang di kerajaan lama Melaka atau dimana-mana tempat di gugusan kepulauan Melayu, dan kini bermastautin di pelbagai wilayah semenanjung melayu dan dinusantara Indonesia. Seorang Melayu mestilah berwarisan budaya tradisi yang memperkenalkannya sebagai insan berbudi pekerti. Dia hidup dalam lingkungan yang penuh harapan serta berpandangan optimistik dalam menghadapi sesuatu kemungkinan”

Sebenarnya amat sukar mentakrifkan siapakah Melayu. Menurut Prof. Syed Hussein al-Attas, jika diminta seseorang mengenal dengan pasti hewan yang disebut kambing, tidak ada masalah bagi siapa saja menunjukkan hewan tersebut. Namun apabila diminta memberikan sifat kambing, akan timbul kesukaran. Demikianlah, apabila diminta mengenal dengan  pasti yang manakah disebut Melayu, dengan mudah siapapun dapat menunjukkannya. Kesulitan timbul apabila kita diminta memberikan takrif Melayu (Awang Sariyan, mencari Melayu dalam jati diri sebenar, DB, Jun 2001).

6.   Identitas Melayu

Melayu merupakan satu etnis yang memiliki keidentikan dengan Islam. Identitas Islam yang melekat pada etnis Melayu tidak bisa terlepas dari specktrum historis.

Ada beberapa identitas masyarakat Melayu yang melekat pada etnis ini,
menurut Prof Dr Syamsul Nizar MA, antara lain:

Pertama, bagi etnis Melayu, Islam merupakan ruh yang memberikan daya dorong dan warna bagi seluruh dimensi adat dan kehidupan masyarakatnya.

Untuk itu, tak heran bila seluruh substansi dan simbol Melayu terangkum dengan mendasarkannya atas ajaran dan dasar Islam.

Bahkan, rangkaian tatanan pemerintahan dan munculnya perlawanan masyarakat Melayu terhadap penjajah lebih dominan disemangati oleh ajaran Islam sebagai power yang memberikan motivasi gerakan.

Budaya Melayu bukan hanya sekadar dibungkus dengan ajaran Islam, akan tetapi bahkan menjadi inti dan denyut nadi utamanya. Simbol-simbol agama terlihat jelas dalam semua tradisi Melayu.

Bahkan akan menjadi aib bila simbol-simbol terebut tidak digunakana. Katakanlah baju kurung yang longgar dengan selendang penutup kepala yang menjadi identitas pakaian Melayu.

Simbol tersebut sangat erat dengan ajaran menutup aurat bagi perempuan dalam ajaran Islam.

Kedua, Melayu identik dengan keramah-tamahan, baik dengan sesamanya maupun lingkungannya. Keramahtamahan masyarakat Melayu dapat terlihat dari sikap dan prilaku sehari-hari yang bisa berinteraksi dengan etnis dan bangsa manapun.

Melayu sangat menghargai perbedaan dan tak pernah memandang rendah bangsa lain. Sebab, ruh yang menyemangatinya adalah ajaran Islam.

Dalam Islam, semua manusia sama di hadapan Allah, kecuali yang membedakannya hanyalah kadar ketakwaannya. Cerminan bahasa Melayu yang lembut dengan selingan pantunnya yang bernilai sastra tinggi dan penuh makna menjadi identitas tersendiri.

Dalam sejarah Melayu disebutkan bahwa masyarakat Melayu sangat ramah dengan lingkungan. Meski mereka hidup sebagai nelayan, namun ekosistem laut selalu dipelihara agar tidak punah agar kekayaan lingkungannya dapat diwariskan kepada anak cucunya. 

Ketiga, secara umum geografis masyarakat Melayu lebih dominan hidup di pesisir pantai. Kondisi ini membangun karakter masyarakat Melayu bersikap inklusif (terbuka).

Inklusivitas masyarakat Melayu dengan dunia luar telah diakui dalam sejarah nusantara, baik ketika mereka berinteraksi dengan para pedagang Arab, Cina maupun Gujarat.

Namun demikian, sikap inklusivitas masyarakat Melayu terhadap bangsa luar tidak membuat etnis ini kehilangan identitas kemelayuan dan keislamannya. Etnis ini bagaikan ikan di laut. Ia bisa menerima asinnya air laut akan tetapi tak menjadi asin karena asinnya air laut.

Keempat, Melayu memiliki harga diri yang tinggi, meskipun dalam ketiadaan. Ada selentingan yang cenderung negatif terhadap Melayu, khususnya di Riau. Selintingan negatif tersebut mengungkapkan bahwa “Melayu Pemalas”.

Persoalan malas hampir dimiliki oleh etnis yang berada pada wilayah geografis yang makmur. Mereka bukannya malas, akan tetapi kemakmuran negeri mereka membuat mereka tidak perlu menguras tenaga ekstra untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sementara masyarakat yang kononnya “rajin” karena dorongan alam mereka yang tak bersahabat dan tandus, sehingga mendorong mereka untuk bekerja ekstra bagi mencukupi kebutuhannya.

Namun, acapkali yang selalu terlupakan terhadap etnis Melayu adalah harga dirinya yang selalu terpelihara. Meskipun dalam kesusahan yang mendera, namun untuk meminta dan mengemis adalah tabu bagi masyarakat Melayu.

Kelima, Melayu senantiasa menjunjung tinggi agama, nilai budaya, persahabatan, dan pendidikan. Hal ini dapat terlihat secara jelas sikap raja-raja Melayu yang memiliki apresiasi demikian tinggi dalam melaksanakan ajaran agamanya, memiliki kesetikawanan dan tak mengenal sikap menikam dari belakang, dan peduli dengan pendidikan (khususnya agama) bagi keturunannya.

Maka sangat wajar apabila bagi adat Melayu seorang yang mengaku Melayu yang tak mampu mengaji dan mengetahui dasar-dasar agama sebagai aib diri.

Keenam, masyarakat Melayu mengedepan musyawarah dalam menyelesaikan persoalan. Betapa besar atau kecilnya masalah selalu diputuskan secara musyawarah.

Yang besar didengarkan pendapatnya dan yang kecil dihargai pendapatnya. Egaliter yang diterapkan masyarakat Melayu perlu diteruskan oleh generasi hari ini.

Prinsip musyawarah yang dikedepankan adalah lahirnya kebulatan kata yang berdimensi kebenaran bagi menjaga kemaslahatan keummatan, bukan kebulatan kata yang berdimensi kepentingan golongan.

Masihkah kita mengaku sebagai Melayu, namun tanpa identitas Melayu? Atau kita hanya bangga dengan simbol Melayu yang disandang, namun masih miskin dengan filosofi Melayu sesungguhnya?
Atau hanya sebatas kebanggaan sebagai anak watan, namun tak memberi kontribusi atas negeri Melayu secara jelas dan signifikan?

Seyogyanya, sudah saatnya muncul Peraturan Daerah di Bumi Lancang Kuning ini untuk menggunakan bahasa Melayu dalam komunikasi, baik dalam aktivitas kemasyarakatan, maupun dalam lembaga pemerintahan.

Paling tidak menetapkan satu hari untuk wajib berbahasa Melayu. Tatkala setiap hari Minggu,  jalur jalan Diponegoro ditetapkan sebagai hari bebas kendaraan sampai jam tertentu, kenapa kebijakan menggunakan bahasa Melayu sehari dalam seminggu tak bisa dilakukan.

Jika kebijkan ini tidak dilakukan, maka dikhawatirkan bahasa Melayu akan terlupakan oleh generasi yang akan datang. Mereka mungkin akan bangga dan fasih menggunakan bahasa suku lain, ketimbang bahasa Melayu. Padahal, visi dan misi Riau 2020 adalah menjadi pusat budaya Melayu. Itupun bila kita masih mengaku sebagai generasi Melayu dan berterimakasih karena telah hidup di negeri Melayu.

Akan tetapi, tatkala rasa telah tiada, malu telah menjadi abu, identitas hanya topeng terbatas, teriakan hanya sebagai nyanyian sumbang, pengakuan yang tak seirama dengan laku, gendang yang membahana tapi tanpa makna, tarian tanpa rasa, kata sebatas pemanis belaka, maka Melayu akan kehilangan identitasnya.

Tatkala hal ini terjadi, di manakah harga diri sebagai anak Melayu yang seyogyanya dapat dibanggakan dan dipertahankan?


0 Comments:

Posting Komentar