Pages

Subscribe:

Labels

Radioimmunoassay (RIA)

Pengertian Radioimmunoassay Radioimmunoassay merupakan metode laboratorium (in vitro method) untuk mengukur dengan relative tepat jumlah zat yang ada pada tubuh pasien[1] dengan isotop radioaktif yang bercampur dengan antibody yang disisipkan ke dalam sampel. Radioimmunoassay merupakan revolusi dalam pemeriksaan medis. Pada tahun 2009, teknik ini masih revolusioner karena merupakan blueprint untuk pengembangan metode lebih lanjut dalam teknik laboratorium di bidang medis. Dasar-dasar teknik radioimmunoassay (RIA) atau prinsip competitive-binding radioassay ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1950-an oleh Solomon Berson dan Rosalyn Yallow[1,2] untuk memeriksa volume darah, metabolism iodine, menentukan kadar hormone insulin dalam plasma darah. Dengan menggunakan prinsip ini titer atau kadar berbagai hormon, antigen, antibodi, enzim dan obat dalam darah dapat diukur dengan ketepatan dan ketelitian yang sangat tinggi. Karena limit deteksi yang sangat baik ini maka RIA digunakan sebagai peralatan laboratorium standar. RIA memanfaatkan radioaktivitas dari isotop radioaktif yang diinjeksikan ke dalam sampel. Cacahan radiasi dideteksi menggunakan pencacah seperti detector Geiger-Muller, scintillator, dan sebagainya. Pemanfaatan Radioaktivitas Teknik RIA adalah suatu teknik penentuan zat-zat yang berada dalam tubuh berdasarkan reaksi imunologi yang menggunakan tracer radioaktif[3]. Tracer radioaktif adalah isotop radioaktif yang akan meluruh pada melalui proses radioaktivitas. Radioaktivitas adalah proses peluruhan isotop tidak stabil (radioaktif) menjadi isotop yang lebih stabil dengan memancarkan energy melalui materi berupa partikel-partikel (alpha atau beta) ataupun gelombang elektromagnetik (sinar gamma)[4]. Intensitas dari sumber radioaktif dinyatakan oleh transformasi inti rata-rata per satuan waktu. Satuan radioaktivitas dinyatakan dengan Curie (Ci). 1 Ci awalnya didefinisikan sebagai radiasi yang dipancarkan oleh 1 gram 226Ra, tetapi definisi ini diubah sebagai kemurnian dari peningkatan nuklida. Nilai absolute dari 1 Ci sama dengan 3,7×1010 disintegrasi/sekon. Satuan lain dari radioaktivitas adalah Becquerel (Bq), 1 Bq sama dengan 1 disintegrasi/sekon[5,6]. RIA memiliki 2 keampuhan metode[3] antara lain adalah: Pertama, pengukuran radioaktivitas memberikan kepekaan dan ketelitian yang tinggi serta tidak terpengaruh oleh factor-faktor lain yang terdapat dalam system. Kedua, reaksi immunologi berlangsung secara spesifik karena antigen hanya dapat bereaksi dengan antibody yang sesuai dengannya sehingga zat lain atau antigen lain yang tidak sesuai karakteristiknya tidak dapat ikut campur dalam reaksi. Prinsip Kerja Prinsip radioimmunoassay dapat diringkas sebagai persaingan reaksi dalam campuran yang terdiri dari antigen/hormon berlabel radioaktif, antibodi dan antigen/hormon yang tidak berlabel radioisotop. Antigen radioaktif dicampur dengan sejumlah antibodi. Antigen dan antibodi berikatan satu sama lain menjadi satu zat. Kemudian ditambahkan zat yang tidak diketahui jenisnya yang mengandung sedikit antigen. Zat baru ini merupakan zat yang diuji[1,9]. Secara sederhana digambarkan dengan asumsi bahwa antibodi yang dimaksud berkonsentrasi sangat tinggi untuk dikombinasikan dengan antigen atau antigen yang berlabel dalam molekul antibodi. Pada saat ikatan kadar protein dan steroid radioaktif konstan, penghambatan ikatan hormon radioaktif dengan ikatan protein merupakan fungsi dari jumlah hormon nonradioaktif yang berada pada sampel. Secara ringkas, skema proses pengujian zat dengan teknik radioimmunoassay diperlihatkan pada gambar di bawah ini. Gambar 1. Skema singkat proses pengujian zat dengan teknik radioimmunoassay Gambar 1. Skema singkat proses pengujian zat dengan teknik radioimmunoassay Referensi W. “What is Radioimmunoassay?”. 2012. http://www.wisegeek.com/what-is-radioimmunoassay.htm. Conjecture Corporation. Diakses 17 November 2012. Johan S. Masjhur, “Perkembangan Aplikasi Teknologi Nuklir Dalam Bidang Kedokteran”. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung. Seminar Keselamatan Nuklir. Badan Pengawas Tenaga Nuklir. 2009. Nurcahyadi, Hari. Susila, I.P. Imran, Z.W. “Perekayasaan Pencacah RIA IP10.1 Untuk Diagnosis Kelenjar Gondok”. PRPN-BATAN. “Pengertian Radioaktif/Radioaktivitas”. http://id.shvoong.com/exact-sciences/engineering/. Diakses 17 November 2012. Alpen, E. L. (1995). “Radiation Biophysics”. First edition. Gordon and Breach. New York. “Principle of The Radioimmunoassay”. 2000. https://wprcfs.primate.wisc.edu/assay/riameth.html. University of Wisconsin System Board of Regents. Diakses 17 November 2012. “Nuclide Safety Data Sheet”. Iodine-125. http://safety.uncc.edu/sites/safety.uncc.edu/files/Iodine%20125.pdf. Diakses 17 November 2012. Hadi, K. Ismuji. “Penggunaan Metoda Radioimmunoassay Untuk Menentukan Kadar Hormon Reproduksi“. 1983. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Satoskar, R.S. Bhandarkar, R.S. Rege, N.N. “Pharmacology and Pharmacotherapeutics“. 2009. Popular Prakashan. New revised 21 St Ed. “Principle of The Radioimmunoassay”. 2000. https://wprcfs.primate.wisc.edu/assay/riameth.html. University of Wisconsin System Board of Regents. Diakses 17 November 2012. Pomeranz, Yoshajahu. Leloan, C. E. “Food Analysis: Theory and Practice“. Springer. USA. Third edition.

0 Comments:

Posting Komentar